TEORI
BEHAVIORISME
Pengertian Behaviorisme
Behaviorisme
atau aliran perilaku (perspektif belajar) adalah filosofi dalam psikologi yang
berdasar pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme termasuk tindakan,
pikiran, atau perasaan dianggap sebagai perilaku. Aliran ini berpendapat bahwa
perilaku demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat peristiwa
fisiologis internal atau konstrak hipotetis seperti pikiran.
Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori harus memiliki dasar yang bisa diamati tapi tidak ada perbedaan antara proses yang dapat diamati secara publik (seperti tindakan) dengan proses yang diamati secara pribadi (seperti pikiran dan perasaan).
Belajar merupakan akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap
telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut
teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan
output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus
dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan
tidak dapat diukur, yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena
itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh
pembelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori harus memiliki dasar yang bisa diamati tapi tidak ada perbedaan antara proses yang dapat diamati secara publik (seperti tindakan) dengan proses yang diamati secara pribadi (seperti pikiran dan perasaan).
Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula
bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga
semakin kuat. Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,
Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.
Teori
Behaviorisme
Tokoh dari teori ini adalah John B. Watson (1878-1958)
yang dikenal pula sebagai bapak behaviorisme. Teori ini memusatkan pada aspek
yang dirasakan secara langsung pada perilaku berbahasa serta hubungan antara
stimulus dan respons pada lingkungan sekitarnya. Teori ini berpendapat bahwa
semua tindakan (respons) ditimbulkan oleh rangsangan (stimulus). Watson dengan
tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan kesadaran terhadap perilaku.
Dengan demikian, setiap perilaku dapat dipelajari melalui hubungan stimulus-respons.
Teori behaviorisme menempatkan orang yang belajar sebagai individu yang
pasif. Respon atau perilaku tertentu dapat dilatih dengan menggunakan metode
pelatihan atau pembiasaan. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Watson mengadakan suatu
penelitian untuk menopong teorinya. Ia mengambil objek seorang bayi bernama
Albert. Pada awalnya, Albert tidak takut dengan tikus bulu putih namun setelah
Watson menggunakan proses dengan cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu
setiap kali Albert mendekati dan ingin memegang tikus putih itu, tidak lama
kemudian Albert menjadi takut terhadap tikus putih juga kelinci putih. Bahkan
terhadap semua benda berbulu putih, termasuk jaket dan topeng Sinterklas yang
berjanggut putih. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembiasaan dapat
mengubah perilaku seseorang secara nyata.
Seorang behavioris berpendapat bahwa perilaku berbahasa yang efektif
merupakan hasil respons tertentu yang dikuatkan. Respons itu akan menjadi
kebiasaan atau terkondisikan, baik respons yang berupa pemahaman maupun respons
yang berwujud ujian. Seseorang belajar memahami ujaran dengan mereaksi stimulus
secara memadai dan memperoleh penguatan untuk reaksi itu. Skinner berpendapat
bahwa perilaku verbal adalah perilaku yang dikembangkan oleh akibatnya. Bila
akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan. Frekuensi
dilakukannya perilaku ini akan terus berkembang. Bila akibatnya hukuman, atau
bila kurang adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau pelan-pelan
akan disingkirkan.
Teori dari Pavlov atau yang lebih
dikenal sebagai Teori Pembiasaan Klasik berpendapat bahwa pembelajaran
merupakan rangkaian panjang dari respons-respons yang dibiasakan. Respons
tersebut berupa suatu latihan yang diulang secara teratur dan intensif. Teori
ini didukung oleh teori dari Thorndike, ia berpendapat bahwa pembelajaran
merupakan suatu proses menghubung-hubungkan peristiwa fisik dan mental di dalam
sistem syaraf dan tidak ada hubungannya dengan insight (kecepatan melihat
hubungan-hubungan di dalam pikiran).
Upaya lain untuk mendukung Teori
Behaviorisme dalam pemerolehan bahasa dilakukan Osgood (1953). Teori ini
berpendapat bahwa proses pemerolehan semantik (makna) didasarkan pada teori
mediasi atau penengah. Menurutnya, makna merupakan hasil proses pembelajaran
dan pengalaman seseorang dan merupakan mediasi untuk melambangkan sesuatu.
Makna adalah pelambang dai keseluruhan respons terhadap suatu objek yang
dibiasakan pada kata untuk objek itu atau persepsi untuk objek itu.
Tokoh-Tokoh Aliran
Behaviorisme
Tokoh-tokoh aliran behaviorisme di antaranya adalah Watson, Skinner,
Thorndike, Clark L. Hull, Edwin Guthrie. Di bawah ini akan dipaparkan analisis
menurut tokoh behaviorisme:
1. Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses
interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud
harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui
adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar,
namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu
diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris
murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain
seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman
empiris semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
2. Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukakan Skinner tentang belajar lebih mengungguli
konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara
sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus
dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian
menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh
tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling
berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang
dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Menurut Skinner (J.W. Santrock, 272)
unsur yang terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan (reinforcement
) dan hukuman (punishment). Penguatan
(reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa
suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah
konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku.
Menurut Skinner penguatan berarti
memperkuat, penguatan dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Penguatan
positif adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons
meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk
penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku
(senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan
jempol), atau penghargaan (nilai A, juara 1 dsb).
b. Penguatan
negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons
meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak
menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak
memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang
(menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll).
3. Menurut Thorndike
Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar,
yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan
tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkret, yaitu yang
dapat diamati, atau tidak konkret yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme
sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara
mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.
4. Teori Belajar Menurut Clark L. Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan
antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia
sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles
Darwin. Bagi
Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive
reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan
manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajar pun hampir selalu
dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin
dapat berwujud macam-macam.
5.
Teori Belajar Menurut Edwin
Guthrie
Guthrie menggunakan
variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses
belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah
situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan
sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon
bersifat sementara, oleh karena itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat
yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa
Satu di antara
tokoh pandangan behaviorisme dalam pemerolehan bahasa yang terkemuka ialah ahli
psikologi B.F. Skinner (1957). Perhatian dalam pemerolehan bahasa anak di tujukan pada ramalan (prakiraan), dan unit
– unit fungsional perilaku manusia. Skinner mengatakan bahwa bangsa itu
perilaku yang paling penting, karena dapat di perkuat oleh manusia saja, dan
penguatan ini hanya dapat terjadi melalui efek yang terlihat pada orang lain.
Skinner mencoba merinci rangsangan-rangsangan fungsional pada tipe-tipe ujaran,
kategori-kategori respon fungsional, dan berbagai macam penguatan yang
berkaitan dengan tipe-tipe pertama dan kedua itu.
Skinner memerikan dua kategori
perilaku berbahasa lisan yang penting, yakni:
(1)
Mands singkatan dari commands (perintah) dan demands (tuntutan), yang
tergolong dalam kategori ini ialah kata-kata atau kelompok-kelompok kata yang
membawa penguatan (reinforcement) dalam bentuk “hadiah” yang memuaskan hati
pembicara itu. Ibaratnya, kalau seseorang minta sesuatu kepada orang lain dan
memperoleh apa yang dimintanya itu maka “hadiah” yang didapatnya itu memuaskan
hatinya. Contoh: “Tolong berikan saya kapur itu!”; “Apa boleh saya merokok”; “Tutuplah
pintu itu!”; dan sebagainya.
(2) Tacts singkatan dari contacts (hubungan), yang termasuk dalam
kategori kedua ialah kata-kata atau kelompok-kelompok kata yang memberi
tanggapan tentang dunia ini, seperti:
“Hujan deras, ya?”; “saya lelah
sekali!”; “kemarin saya pergi menonton film!” dan sebagainya. Demikian
keterangan Skinner, “hadiah langsung” tidak diterima melalui proses penguatan,
tetapi melalui proses penguatan umum seperti : senyum, anggukan, pandangan yang
mesra, perhatian, dan sebagainya yang memberi dorongan kepaada pembicara untuk
terus berbicara. Menurut Skinner, penguatan respon ini adalah kunci pemahaman
perkembangan bahasa. Lambat laun, melalui proses prakiraan berturut – turut,
anak – anak akan belajar norma – norma linguistik masyarakat mereka.
Seperti
dikatakan di atas, dalam pandanga behaviorisme, sistem respons diperoleh
manusia melalui sistem membiasakan, atau pengulang an – pengulangan bentuk –
bentuk bahasa sehingga anak tidak lagi membuat kesalahan dalam perlakuan bahasa
pertamanya. Sebagai contoh, demikian Skinner, dari sekian banyak bunyi “ocehan”
anak, hanya bunyi – bunyian tertentu yang digunakan anak yang diperkuat oleh
orang – orang dewasa sekelilingnya, karena bunyi – bunyi itu yang dipakai dalam
berkomunikasi, sedang bunyi – bunyi yang tidak berguna karena tidak dipakai
oleh orang – orang dewasa, akan dilupakan atau dibuang dari ingatan anak itu.
Penguatan inilah yang menyebabkan bunyi – bunyi ujar anak menyerupai bunyi –
bunyi ujar orang dewasa sekelilingnya.
Dalam
perkembangan sintaksis anak, proses pemerolehan berarti generalisasi situasi
satu ke situasi lain, dan dalam setiap situasi pola – pola linguistik yang
benar diperkuat oleh orang – orang dewasa sekeliling anak itu. Sebaliknya, pola
– pola linguistik yang tidak benar tidak diperkuat, dan lambat laun akan hilang
dengan sendirinya. Dalam proses pemerolehan bahasa pertama, peran peniruan
dianggap penting sekali. Orang – orang dewasa sekeliling anak itu meluaskan
pola – pola linguistik linguistik; bebrapa kata atau istilah lebih sering
digunakan pada yang lain sehingga analogi – analogi dan generalisais –
generalisasi dibuat dan diuji anak itu.
Pandangan
Behaviorisme
Pandangan behaviorisme menekankan bahwa proses penguasaan bahasa
dikendalikan oleh luar, yaitu oleh rangsangan yang disodorkan melalui
lingkungan. Karya skinner (1957) merupakan versi yang paling ekstrem dari
pandangan ini. Bahasa merupakan satu di antara perilaku-perilaku yang lain.
Dengan demikian, bagi kaum behavioris istilah bahasa itu sendiri dirasa kurang tepat, karena mengkonotasikan suatu wujud, sesuatu yang memiliki atau digunakan dan bukan sesuatu yang dilakukan. Untuk istilah bahasa, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal, agar lebih kelihatan kemiripannya dengan perilaku lain yang harus dipelajari.
Dengan demikian, bagi kaum behavioris istilah bahasa itu sendiri dirasa kurang tepat, karena mengkonotasikan suatu wujud, sesuatu yang memiliki atau digunakan dan bukan sesuatu yang dilakukan. Untuk istilah bahasa, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal, agar lebih kelihatan kemiripannya dengan perilaku lain yang harus dipelajari.
Kemenangan berbicara dan memahami bahasa diperoleh dari rangsangan
lingkungannya. Anak dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya.
Anak tidak memiliki peranan yang pasif di dalam proses perkembangan perilaku
lingualnya. Bukan hanya peran anak yang tidak diakui oleh kaum behavioris,
kematangan si anak pun bukanlah sesuatu yang menentukan bahasa terutama oleh
lamanya latihan yang disodorkan oleh lingkungannya.
Pengertian keindahan gramatikal menurut Skinner (1969) ialah perilaku
verbal yang memungkinkan kemampuan menjawab atau mengatakan sesuatu tanpa
pajanan terhadap sesuatu dari luar. Melalui peniruan akhirnya anak dapat
menguasai. Si anak dapat berbicara sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku.
Menurut Skinner, bahwa kemampuan berbahasa anak bukan berlandas pada
penguasaan kaidah melainkan dibentuk secara langsung oleh faktor di luar
dirinya. Kaum behaviorisme tidak menerima pandangan bahwa anak menguasai kaidah
bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakkan ciri-ciri penting dari
bahasa di lingkungannya. Mereka beranggapan bahwa rangsangan dari lingkungan
tertentu memperkuat kemampuan berbicara anak. Perkembangan bahasa dipandang
sebagai suatu kemampuan dari pengungkapan verbal yang sembarangan sampai ke
kemampuan matang untuk berkomunikasi dan peniruan-peniruan.
Implikasi
dalam Behaviorisme Melalui Kasus Pembelajaran
Dalam behaviorisme, seorang guru selaku pengajar dan pengawas jalannya
pembelajaran memiliki kemiripan dengan seorang peneliti yang akan meneliti
objek penelitiannya. Seorang peneliti akan mengambil jarak atau distansi penuh
dengan objeknya, bersikap netralitas, memanipulasi, merumuskan hukum – hukum,
bebas kepentingan, universal dan instrumental terhadap objeknya. Dalam hal ini guru juga memberlakukan hal yang sama
terhadap anak didiknya.
Penulis mengambil contoh kasus dalam pembelajaran musik yang menggunakan
pendekatan teori behaviorisme.
Ketika seorang guru ingin mengajarkan bagaimana mengajarkan tangga nada
kepada muridnya, ia akan mengamati terlebih dahulu bagaimana keadaan fisik jari
murid – muridnya dan kemampuan dasar yang dimiliki oleh tiap murid dengan sikap
berjarak. Guru akan berfikir ia sebagai subjek dan murid – murid adalah sebagai
objek. Fakta netral harus dimiliki oleh sang guru dalam menghadapi muridnya.
Sebuah pemikiran yang bersih dari unsur- unsur subjektifnya. Ditahap ini materi
– materi pembelajaran akan diberikan sebagai bentuk stimulus dari guru terhadap
muridnya. Guru akan menjelaskan dan mencontohkan tentang bagaimana musik
rangkaian sebab–akibat dalam pengajaran akan didapatkan sebagai hasil.
Rangkaian sebab (pemberian stimulus) – akibat ini akan menghasilkan sebuah
respon dari murid dimana respon ini akan membentuk sebuah perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari pembelajaran. Teori – teori tersebut akan dipraktekkan
secara instrumental dan universal di kelas – kelas selanjutnya.
Kasus singkat di atas adalah contoh dari sebuah pengajaran di kelas dengan
penerapan teori behaviorisme. Guru memberikan sebuah stimulus berupa materi –
materi pengajaran dan mengharapkan akan mendapatkan sebuah respon yang berupa
perubahan tingkah laku dari murid – muridnya. Perubahan tingkah laku dalam
bentuk dari ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mempraktekkan pelajaran yang
diberikan berubah menjadi mampu untuk mempraktekkannya. Guru tidak melihat
bagaimana proses murid – murid mencerna materi pengajaran, guru hanya melihat
bagaimana hasil akhir yang diperoleh. Reinforcement positive atau negative
yang akan diberikan tergantung dari bagaimana perubahan tingkah laku yang
dihasillkan.
0 comments