Tuesday 16 May 2017

TEORI BEHAVIORISME


TEORI BEHAVIORISME

Pengertian Behaviorisme
Behaviorisme atau aliran perilaku (perspektif belajar) adalah filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan dianggap sebagai perilaku. Aliran ini berpendapat bahwa perilaku demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat peristiwa fisiologis internal atau konstrak hipotetis seperti pikiran.
Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori harus memiliki dasar yang bisa diamati tapi tidak ada perbedaan antara proses yang dapat diamati secara publik (seperti tindakan) dengan proses yang diamati secara pribadi (seperti pikiran dan perasaan).
         
   Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pembelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur.
Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat. Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.

Teori Behaviorisme
            Tokoh dari teori ini adalah John B. Watson (1878-1958) yang dikenal pula sebagai bapak behaviorisme. Teori ini memusatkan pada aspek yang dirasakan secara langsung pada perilaku berbahasa serta hubungan antara stimulus dan respons pada lingkungan sekitarnya. Teori ini berpendapat bahwa semua tindakan (respons) ditimbulkan oleh rangsangan (stimulus). Watson dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan kesadaran terhadap perilaku. Dengan demikian, setiap perilaku dapat dipelajari melalui hubungan stimulus-respons.
Teori behaviorisme menempatkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dapat dilatih dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Watson mengadakan suatu penelitian untuk menopong teorinya. Ia mengambil objek seorang bayi bernama Albert. Pada awalnya, Albert tidak takut dengan tikus bulu putih namun setelah Watson menggunakan proses dengan cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu setiap kali Albert mendekati dan ingin memegang tikus putih itu, tidak lama kemudian Albert menjadi takut terhadap tikus putih juga kelinci putih. Bahkan terhadap semua benda berbulu putih, termasuk jaket dan topeng Sinterklas yang berjanggut putih. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembiasaan dapat mengubah perilaku seseorang secara nyata.
Seorang behavioris berpendapat bahwa perilaku berbahasa yang efektif merupakan hasil respons tertentu yang dikuatkan. Respons itu akan menjadi kebiasaan atau terkondisikan, baik respons yang berupa pemahaman maupun respons yang berwujud ujian. Seseorang belajar memahami ujaran dengan mereaksi stimulus secara memadai dan memperoleh penguatan untuk reaksi itu. Skinner berpendapat bahwa perilaku verbal adalah perilaku yang dikembangkan oleh akibatnya. Bila akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan. Frekuensi dilakukannya perilaku ini akan terus berkembang. Bila akibatnya hukuman, atau bila kurang adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau pelan-pelan akan disingkirkan.
            Teori dari Pavlov atau yang lebih dikenal sebagai Teori Pembiasaan Klasik berpendapat bahwa pembelajaran merupakan rangkaian panjang dari respons-respons yang dibiasakan. Respons tersebut berupa suatu latihan yang diulang secara teratur dan intensif. Teori ini didukung oleh teori dari Thorndike, ia berpendapat bahwa pembelajaran merupakan suatu proses menghubung-hubungkan peristiwa fisik dan mental di dalam sistem syaraf dan tidak ada hubungannya dengan insight (kecepatan melihat hubungan-hubungan di dalam pikiran).
            Upaya lain untuk mendukung Teori Behaviorisme dalam pemerolehan bahasa dilakukan Osgood (1953). Teori ini berpendapat bahwa proses pemerolehan semantik (makna) didasarkan pada teori mediasi atau penengah. Menurutnya, makna merupakan hasil proses pembelajaran dan pengalaman seseorang dan merupakan mediasi untuk melambangkan sesuatu. Makna adalah pelambang dai keseluruhan respons terhadap suatu objek yang dibiasakan pada kata untuk objek itu atau persepsi untuk objek itu.

Tokoh-Tokoh Aliran Behaviorisme
Tokoh-tokoh aliran behaviorisme di antaranya adalah Watson, Skinner, Thorndike, Clark L. Hull, Edwin Guthrie. Di bawah ini akan dipaparkan analisis menurut tokoh behaviorisme:
1.   Teori Belajar Menurut Watson                                                                               
        Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empiris semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
2.   Teori Belajar Menurut Skinner                                                                  
Konsep-konsep yang dikemukakan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Menurut Skinner (J.W. Santrock, 272) unsur yang terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan (reinforcement ) dan hukuman (punishment). Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku.
Menurut Skinner penguatan berarti memperkuat, penguatan dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a.       Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, juara 1 dsb).
b.      Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll).
3.      Menurut Thorndike
Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkret, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkret yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.
4.      Teori Belajar Menurut Clark L. Hull        
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam.
5.      Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie                                                                  
        Guthrie menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa
Satu di antara tokoh pandangan behaviorisme dalam pemerolehan bahasa yang terkemuka ialah ahli psikologi B.F. Skinner (1957). Perhatian dalam pemerolehan bahasa anak  di tujukan pada ramalan (prakiraan), dan unit – unit fungsional perilaku manusia. Skinner mengatakan bahwa bangsa itu perilaku yang paling penting, karena dapat di perkuat oleh manusia saja, dan penguatan ini hanya dapat terjadi melalui efek yang terlihat pada orang lain. Skinner mencoba merinci rangsangan-rangsangan fungsional pada tipe-tipe ujaran, kategori-kategori respon fungsional, dan berbagai macam penguatan yang berkaitan dengan tipe-tipe pertama dan kedua itu.  
Skinner memerikan dua kategori perilaku berbahasa lisan yang penting, yakni:
(1)  Mands singkatan dari commands (perintah) dan demands (tuntutan), yang tergolong dalam kategori ini ialah kata-kata atau kelompok-kelompok kata yang membawa penguatan (reinforcement) dalam bentuk “hadiah” yang memuaskan hati pembicara itu. Ibaratnya, kalau seseorang minta sesuatu kepada orang lain dan memperoleh apa yang dimintanya itu maka “hadiah” yang didapatnya itu memuaskan hatinya. Contoh: “Tolong berikan saya kapur itu!”; “Apa boleh saya merokok”; “Tutuplah pintu itu!”; dan sebagainya.
(2)     Tacts singkatan dari contacts (hubungan), yang termasuk dalam kategori kedua ialah kata-kata atau kelompok-kelompok kata yang memberi tanggapan tentang dunia ini, seperti:
“Hujan deras, ya?”; “saya lelah sekali!”; “kemarin saya pergi menonton film!” dan sebagainya. Demikian keterangan Skinner, “hadiah langsung” tidak diterima melalui proses penguatan, tetapi melalui proses penguatan umum seperti : senyum, anggukan, pandangan yang mesra, perhatian, dan sebagainya yang memberi dorongan kepaada pembicara untuk terus berbicara. Menurut Skinner, penguatan respon ini adalah kunci pemahaman perkembangan bahasa. Lambat laun, melalui proses prakiraan berturut – turut, anak – anak akan belajar norma – norma linguistik masyarakat mereka.
Seperti dikatakan di atas, dalam pandanga behaviorisme, sistem respons diperoleh manusia melalui sistem membiasakan, atau pengulang an – pengulangan bentuk – bentuk bahasa sehingga anak tidak lagi membuat kesalahan dalam perlakuan bahasa pertamanya. Sebagai contoh, demikian Skinner, dari sekian banyak bunyi “ocehan” anak, hanya bunyi – bunyian tertentu yang digunakan anak yang diperkuat oleh orang – orang dewasa sekelilingnya, karena bunyi – bunyi itu yang dipakai dalam berkomunikasi, sedang bunyi – bunyi yang tidak berguna karena tidak dipakai oleh orang – orang dewasa, akan dilupakan atau dibuang dari ingatan anak itu. Penguatan inilah yang menyebabkan bunyi – bunyi ujar anak menyerupai bunyi – bunyi ujar orang dewasa sekelilingnya.
Dalam perkembangan sintaksis anak, proses pemerolehan berarti generalisasi situasi satu ke situasi lain, dan dalam setiap situasi pola – pola linguistik yang benar diperkuat oleh orang – orang dewasa sekeliling anak itu. Sebaliknya, pola – pola linguistik yang tidak benar tidak diperkuat, dan lambat laun akan hilang dengan sendirinya. Dalam proses pemerolehan bahasa pertama, peran peniruan dianggap penting sekali. Orang – orang dewasa sekeliling anak itu meluaskan pola – pola linguistik linguistik; bebrapa kata atau istilah lebih sering digunakan pada yang lain sehingga analogi – analogi dan generalisais – generalisasi dibuat dan diuji anak itu.           

Pandangan Behaviorisme
Pandangan behaviorisme menekankan bahwa proses penguasaan bahasa dikendalikan oleh luar, yaitu oleh rangsangan yang disodorkan melalui lingkungan. Karya skinner (1957) merupakan versi yang paling ekstrem dari pandangan ini. Bahasa merupakan satu di antara perilaku-perilaku yang lain.
Dengan demikian, bagi kaum behavioris istilah bahasa itu sendiri dirasa kurang tepat, karena mengkonotasikan suatu wujud, sesuatu yang memiliki atau digunakan dan bukan sesuatu yang dilakukan. Untuk istilah bahasa, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal, agar lebih kelihatan kemiripannya dengan perilaku lain yang harus dipelajari.
Kemenangan berbicara dan memahami bahasa diperoleh dari rangsangan lingkungannya. Anak dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya. Anak tidak memiliki peranan yang pasif di dalam proses perkembangan perilaku lingualnya. Bukan hanya peran anak yang tidak diakui oleh kaum behavioris, kematangan si anak pun bukanlah sesuatu yang menentukan bahasa terutama oleh lamanya latihan yang disodorkan oleh lingkungannya.
Pengertian keindahan gramatikal menurut Skinner (1969) ialah perilaku verbal yang memungkinkan kemampuan menjawab atau mengatakan sesuatu tanpa pajanan terhadap sesuatu dari luar. Melalui peniruan akhirnya anak dapat menguasai. Si anak dapat berbicara sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku.           
Menurut Skinner, bahwa kemampuan berbahasa anak bukan berlandas pada penguasaan kaidah melainkan dibentuk secara langsung oleh faktor di luar dirinya. Kaum behaviorisme tidak menerima pandangan bahwa anak menguasai kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakkan ciri-ciri penting dari bahasa di lingkungannya. Mereka beranggapan bahwa rangsangan dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbicara anak. Perkembangan bahasa dipandang sebagai suatu kemampuan dari pengungkapan verbal yang sembarangan sampai ke kemampuan matang untuk berkomunikasi dan peniruan-peniruan.


Implikasi dalam Behaviorisme Melalui Kasus Pembelajaran
Dalam behaviorisme, seorang guru selaku pengajar dan pengawas jalannya pembelajaran memiliki kemiripan dengan seorang peneliti yang akan meneliti objek penelitiannya. Seorang peneliti akan mengambil jarak atau distansi penuh dengan objeknya, bersikap netralitas, memanipulasi, merumuskan hukum – hukum, bebas kepentingan, universal dan instrumental terhadap objeknya. Dalam hal ini guru juga memberlakukan hal yang sama terhadap anak didiknya.
Penulis mengambil contoh kasus dalam pembelajaran musik yang menggunakan pendekatan teori behaviorisme.
Ketika seorang guru ingin mengajarkan bagaimana mengajarkan tangga nada kepada muridnya, ia akan mengamati terlebih dahulu bagaimana keadaan fisik jari murid – muridnya dan kemampuan dasar yang dimiliki oleh tiap murid dengan sikap berjarak. Guru akan berfikir ia sebagai subjek dan murid – murid adalah sebagai objek. Fakta netral harus dimiliki oleh sang guru dalam menghadapi muridnya. Sebuah pemikiran yang bersih dari unsur- unsur subjektifnya. Ditahap ini materi – materi pembelajaran akan diberikan sebagai bentuk stimulus dari guru terhadap muridnya. Guru akan menjelaskan dan mencontohkan tentang bagaimana musik rangkaian sebab–akibat dalam pengajaran akan didapatkan sebagai hasil. Rangkaian sebab (pemberian stimulus) – akibat ini akan menghasilkan sebuah respon dari murid dimana respon ini akan membentuk sebuah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pembelajaran. Teori – teori tersebut akan dipraktekkan secara instrumental dan universal di kelas – kelas selanjutnya.
Kasus singkat di atas adalah contoh dari sebuah pengajaran di kelas dengan penerapan teori behaviorisme. Guru memberikan sebuah stimulus berupa materi – materi pengajaran dan mengharapkan akan mendapatkan sebuah respon yang berupa perubahan tingkah laku dari murid – muridnya. Perubahan tingkah laku dalam bentuk dari ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mempraktekkan pelajaran yang diberikan berubah menjadi mampu untuk mempraktekkannya. Guru tidak melihat bagaimana proses murid – murid mencerna materi pengajaran, guru hanya melihat bagaimana hasil akhir yang diperoleh. Reinforcement positive atau negative yang akan diberikan tergantung dari bagaimana perubahan tingkah laku yang dihasillkan.


Load disqus comments

0 comments