PARADIGMA KRITIS
Paradigma kritis sering kali dilawankan dengan
tradisi lain, yaitu pluralis. Perbedaan dan pembagian pandangan media
antara kritis dan pluralis
dapat memperhitungkan filosofi
media dan pandangan bagaimana hubungan antara media, masyarakat dan filosofis
kehadiran media di tengah masyarakat.
Inti dari aliran ini terutama adalah kepercayaan bahwa masyarakat adalah
wujud dari konsensus
dan mengutamakan keseimbangan. Pandangan ini percaya dengan ide liberal ini,
dilihat memainkan satu diantara fungsi yang ada dalam masyarakat.
Paradigma kritis bersumber dari pemikiran sekolah
Frankfurt. Ketika sekolah Frankrut itu tumbuh, di Jerman tengah berlangsung
proses propaganda besar-besaran Hitler. Media dipenuhi oleh prasangka,
retorika, dan propaganda. Media menjadi alat dari pemerintah untuk mengontrol
publik, menjadi sarana pemerintah untuk mengobarkan semangat perang. Dari
sekolah Frankfurt ini lahirlah pemikiran yang berbeda, yang kemudian dikenal
sebagai aliran kritis. Paradigma ini percaya bahwa media adalah sarana untuk kelompok dominan dapat mengontrol
kelompok yang tidak dominan bahwa memarjinalkan mereka dengan menguasai dan
mengontrol media.
Aliran sekolah
Frankfrut banyak memperhatikan aspek ekonomi politik dalam proses penyebaran
pesan. Seperti ditulis Sindhunata, teori kritis lahir karena ada keprihatinan
akumulasi dan kapitalisme lewat modal yang besar, yang mulai menentukan dan
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Modal inilah yang kini menggerakkan dan
menentukan masyarakat. Individu tidak lagi mempunyai kontrol terhadap modal
tersebut, mala secara alamiah pula—jadi di luar kesadarannya—ia harus
menyesuaikan dengan masyarakat yang dikuasai modal. Salah satu sifat dasar dari
teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa
ini. Karena kondisi masyarakat yang kelihatannya produktif, dan bagus tersebut
sesungguhnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran
khalayak. Sebut misalnya dalam proses berita. Kondisi berita saat ini dengan
akumulasi modal besar-besaran menyatakan bahwa berita itu objektif. Sehingga
pertanyaan yang dikembangkan adalah bagaimana supaya media dapat meliput
peristiwa dengan objektif.
Pemikiran Madzhab
Frankfurtdikembangkan lebih lanjut oleh Stuart Hall. Dalam tulisannya yang
telah menjadi klasik, The Rediscovery of
Ideology: The Return of the Repressed in Media Studies? Hall mengkritik
kecenderungan studi media yang tidak menempatkan ideologi sebagai bagian
penting. Sejak tahun 1960-an, studi media didominasi oleh pendekatan behavioris
terutama di Amerika.
Penelitian dalam tradisi ini mengandaikan media mempunyai kekuatan yang besar.
Akan tetapi, media di sini dipandang bukan merupakan masalah yang serius/besar
dalam masyarakat. Dalam tradisi penelitian empiris, terutama di Amerika,
masyarakat dilihat sebagai pluralis, terdiri dari berbagai kelompok yang
berbeda kepentingannya, dan pluralis itu yang akan ditampilkan dalam media,
seperti aspek atau struktur lain dalam masyarakat demokratis. Beragam
kepentingan itu akan mencapai titik ekuilibrium dengan sendirinya, asalkan
dibiarkan alami, tidak melalui proses paksaan. Restriksi seperti dalam negara
totaliter justru akan menghalangi terciptanya keteraturan dalam masyarakat.
Masyarakat yang demokratis dapat mengatasi perbedaan dan pluralitas di mana
semua anggota masyarakat diandaikan mempunyai saluran dan dapat menyampaikan apa
yang ingin dia katakan kepada khalayak. Dominasi studi dia semacam ini,
merupakan perlawanan dari paradigma yang berkembang tahun 1940-an, terutama
yang dipelopori oleh sekolah Frankfurt. Penelitian dalam dalam tradisi ini
terutama melihat media sebagai kekuatan besar yang berperan dalam memanipulasi
kesadaran dan kenyataan.
Perbedaan paradigma
tersebutmenurut Hall, tidak hanya perbedaan dalam metode atau prosedur
penelitian tetapi juga orientasi teoritik. Hall mengajukan gagasan mengenai
peranan ideologi dalam studi isi teks media, yang dalam beberapa tahun absen
dalam studi media. Stuart Hall mengkritik pandangan-pandangan kaum pluralis.
Kaum pluralis percaya bahwa media memainkan peranan dalam membentuk konsensus
dalam masyarakat, melalui
konsensus itu media secara fungsional menempatkan dirinya di tengah masyarakat.
Akan tetapi menurut
Hall, kaum pluralis melihat peran konsensional itu terjadi secara alamiah,
begitu saja terjadi dalam sistem dan struktur yang telah ada. Padahal,
pembentukan konsensus ini terjadi lewat proses yang rumit, kompleks, dan
melibatkan kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Di sini, media
harusnya dilihat bukan sebagai “kekuatan jahat” yang memang didesain untuk
memburukkan kelompok lain. Media menjalankan perannya seperti itu, melakukan
representasi kelompok lain melalui proses yang kompleks, melalui proses
pendefinisian dan penandaan, sehingga ketika ada kelompok yang buruk dalam
pemberitaan, itu dipresentasikan sebagai sesuatu yang wajar, terlihat alamiah,
memang demikian kenyataanya.
Titik sentral pemikiran
pluralis adalah beragamnya pendapat yang pada akhirnya mencapai ekuilibrium
dalam bentuk konsensus. Konsensus adalah sesuatu yang baik, media memainkan
peranan penting dalam menciptakan konsensus tersebut. Hall dalam tulisannya
memasukkan teori mengenai normal dan penyimpangan. Teori penyimpangan
menekankan pluralisme sebagai kepura-puraan, menyediakan definisi diskriminatif
dari masyarakat atau partisipasi aktif dari kelompok lain. Terjadinya konsensus
antara yang normal dan menyimpang menurut Hall bukanlah sesuatu yang bersifat
alamiah, tetapi didefinisikan secara sosial. Pandangan ini tentu saja
mengkritik pandangan pluralis yang menganggap konsensus adalah sesuatu yang
alamiah yang akan terjadi dengan sendirinya. Dalam pandangan Hall konsensus ini
bekerja lewat pertarungan kekuasaan yang menghasilkan konsensus semacam itu.
Konsensus dibentuk
melalui praktik sosial, politik, disiplin legal, dan bagaimana kelas,
kekuasaan, serta otoritas itu ditempatkan. Menurut Hall konsensus tidak timbul
secara alamiah dan spontan tetapi tetapi terbentuk lewat proses yang kompleks
yang melibatkan konstruksi sosial dan legitimasi. Media memainkan peranan
penting. Media tidaklah secara sederhana dipandang refleksi dari konsensus,
tetapi media mereproduksi dan memapankan definisi dari situasi yang mendukung
dan melegitimasi suatu struktur, mendukung suatu tindakan, dan mendelegitimasi
tindakan lain. Realitas tidak dipahami sebagai seperangkat fakta, tetapi hasil
dari pandangan tertentu dari pembentukan realitas. Konstruksi realitas lewat
media, menempatkan masalah representasi menjadi isu utama dalam penelitian
kritis. Berbeda dengan pandangan pluralis yang melihat realitas adalah sesuatu
yang ada dan terbentuk dengan sendirinya, dalam tradisi kritis realitas
tersebut diproduksi oleh representasi dari kekuatan-kekuatan sosial dominan
yang ada dalam masyarakat. Paradigma kritis menurut Hall bukan hanya mengubah
pandangan mengenai realitas yang dipandang alamiah tersebut, tetapi juga berargumentasi
bahwa media adalah kunci utama dari pertarungan kekuasaan, melalui mana
nilai-nilai kelompok dominan dimapankan, dibuat berpengaruh, dan menentukan apa
yang diinginkan oleh khalayak.
Dalam proses
pembentukan realitas, ada dua titik perhatian Stuart Hall. Pertama, bahasa.
Bahasa sebagaimana dipahami oleh kalangan strukturalis merupakan sistem
penandaan. Realitas dapat ditandakan secara berbeda pada peristiwa yang sama.
Makna yang berbeda dapat dilekatkan pada peristiwa yang sama. Makna timbuk dari
proses pertarungan sosial, masing-masing pihak atau kelompok saling mengajukan
klaim kebenarannya sendiri. Wacana dipahami sebagai arena pertarungan sosial
dan semuanya diartikulasikan lewat bahasa. Bahasa dan wacana di sini dianggap
sebagai arena pertarungan sosial dan bentuk pendefinisian realitas. Jadi,
kenapa A harus kita tafsirkan seperti ini bukan seperti itu, dikarenakan lewat
pertarungan sosial dalam memperebutkan dan memperjuangkan makna, pada akhirnya
penafsiran atau pemaknaan tertentu yang menang dan lebih diterima, akibatnya
penafsiran atau pemaknaan lain dianggap tidak benar/menyimpang.
Kedua,
politik penandaan, yakni bagaimana praktik sosial dalam membentuk makna,
mengontrol, dan menentukan makna. Titik perhatian Hall di sini adalah peran media
dalam menandakan peristiwa atau realitas dalam pandangan tertentu, dan
menunjukkan bagaimana kekuasaan ideologi berperan: ideologi menjadi bidang
pertarungan dari kelompok yang ada dalam masyarakat. Akan tetapi, posisi
demikian juga menunjukkan bahwa ideologi melekat dalam produksi sosial,
produksi media, dan sistem budaya. Efek dari ideologi dalam media adalah
menampilkan pesan dan realitas hasil konstruksi tersebut tampak seperti nyata,
natural, dan benar. Pengertian tentang realitas itu tergantung pada bagaimana
sesuatu tersebut ditandakan dan dimaknai. Wacana berada di tengah, menempatkan
apa yang kita asumsikan tentang dunia dan apa yang dapat kita katakan sebagai
suatu kebenaran.
Media dan Berita
Dilihat dari Paradigma Kritis
Paradigma kritis mempunyai pandangan
tersendiri terhadap berita, yang bersumber pada bagaimana berita tersebut
diproduksi dan bagaimana kedudukan wartawan dan media adalah entitas yang
otonom, dan berita yang dihasilkan haruslah menggambarkan realitas yang terjadi
di lapangan. Sementara paradigma kritis mempertanyakan posisi wartawan dan
media dalam keseluruhan struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam
masyarakat. Pada akhirnya posisi tersebut mempengaruhi berita, bukan
pencerminan dari realitas yang sesungguhnya. Perbedaan tersebut dapat digambarkan
selengkapnya sebagai berikut:
PANDANGAN
PLURALIS
|
PANDANGAN
KRITIS
|
|
Ada
fakta yang real yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku
universal.
|
Fakta
merupakan hasil dari proses pertarungan antara kekuatan ekonomi, politik, dan
sosial yang ada dalam masyarakat.
|
Berita
adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Oleh karena itu, berita haruslah
sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput.
|
Berita
tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas, karena berita yang
terbentuk hanya cerminan dari kepentingan kekuatan dominan.
|
|
Media
adalah sarana yang bebas dan netral tempat semua kelompok masyarakat saling
berdiskusi yang tidak dominan.
|
Media
hanya dikuasai oleh kelompok dominan dan menjadi sarana untuk memojokkan
kelompok lain.
|
Media
menggambarkan diskusi apa yang ada dalam masyarakat.
|
Media
hanya dimanfaatkan dan menjadi alat kelompok dominan.
|
|
Nilai
dan ideologi wartawan berada di luar proses peliputan berita.
|
Nilai
dan ideologi wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan
pelaporan suatu peristiwa.
|
Wartawan
berperan sebagai pelapor.
|
Wartawan
berperan sebagai partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat.
|
Tujuan
peliputan dan penulisan berita: eksplanasi dan menjelaskan apa adanya
memburukkan kelompok.
|
Tujuan
peliputan dan penulisan berita: pemihakan kelompok sendiri dan atau pihak
lain.
|
Penjaga
gerbang (gatekeeping).
|
Sensor
diri.
|
Landasan
etis.
|
Landasan
ideologis.
|
Profesionalisme
sebagai keuntungan.
|
Profesionalisme
sebagai kontrol.
|
Wartawan
sebagai bagian dari tim untuk mencari kebenaran.
|
Sebagai
pekerja yang mempunyai posisi berbeda dalam kelas sosial.
|
|
Liputan
dua sisi, dua pihak, dan kredibel.
|
Mencerminkan
ideologi wartawan dan kepentingan sosial, ekonomi, atau politik tertentu.
|
Objektif,
menyingkirkan opini dan pandangan subjektif dari pemberitaan.
|
Tidak
objektif, karena wartawan adalah bagian dari kelompok/struktur sosial
tertentu yang lebih besar.
|
Memakai
bahasa yang tidak menimbulkan penafsiran yang beraneka.
|
Bahasa
menunjukkan bagaimana kelompok diunggulkan dan memarjinalkan kelompok lain.
|
a.
Fakta
Pandangan kaum kritis, realitas merupakan kenyataan
semu yang telah terbentuk oleh proses kekuatan sosial, politik, dan ekonomi.
Oleh karena itu, mengharapkan realitas apa adanya tidak mungkin, karena telah
tercelup oleh kelompok ekonomi dan politik yang dominan. Namun bagi kaum
pluralis, berita adalah refleksi dan pencerminan dari realitas. Berita adalah mirror of reality, sehingga harus
mencerminkan realitas yang hendak diberitakan. Pandangan ini ditolak oleh
pandangan kritis. Menurut kaum kritis, berita adalah hasil dari pertarungan
wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan
pandangan dan ideologi wartawan atau media, dan umumnya akan dimenangkan oleh kekuatan dominan dalam masyarakat.
Menurut Stuart
Hall, realitas tidaklah secara sederhana dapat dilihat sebagai satu set fakta,
tetapi hasil dari ideologi atau pandangan tertentu. Definisi ini selalu
bermakna sebagai pedefinisian secara selektif realitas yang hendak ditampilkan.
Implikasinya adalah suatu persoalan atau peristiwa di dunia nyata tidak
mengandung atau menunjukkan makna integral, tunggal, intrinsik, dan makna yang
muncul hanyalah makna yang ditransformasikan melalui bahasa. Makna dalam dalam
konteks ini adalah sebuah produksi sosial, hasil dari sebuah praktik. Bahasa
dan simbolisasi adalah perangkat yang digunakan untuk memproduksi makna.
Pendekatan ini mereduksi posisi ide-ide penting bahasa yang menopang analisis
isi lama sehingga term atau kalimat tertentu dapat secara mudah dianggap valid
dengan mengacu pada apa yang direferensikannya di dunia nyata.
Pada pandangan
realis/pluralis, apa yang terjadi dan apa yang terlihat adalah fakta yang
sebenarnya yang dapat diliput oleh wartawan. Hal ini disanggah oleh pandangan
kritis yang menyatakan bahwa realitas yang hadir di depan wartawan sesungguhnya
adalah realitas yang telah terdistorsi. Misalnya, peristiwa mogok kerja
karyawan Pabrik Rokok Gudang Garam di Kediri. Realitas yang muncul adalah
aktivitas masyarakat yang sepi, terjadi kericuhan di beberapa tempat, dan turunnya
pendapatan pemerintah dari cukai. Dalam panadangan posivistik, apa yang terjadi
tersebut adalah realitas, sebuah fakta yang bisa di jadikan berita. Akan
tetapi, menurut kaum kritis, realitas yang hadir tersebut adalah menipu. Di
sini, realitas yang hadir bukanlah realitas dalam arti yang terbaeri (given), tetapi sudah melewati proses
konstruksi, dan hal tersebut ditentukan oleh kekuatan yang dominan memberi
pengaruh yang besar dalam fakta yang hadir di tengah masyrakat. Hadirnya fakta
berupa kericuhan adalah kemenangan dari kelompok dominan untuk memberi
pemaknaan sesuai dengan kepentingan mereka.
b.
Posisi
Media
Kaum pluralis melihat
media sebagai saluran yang bebas dan netral, di mana semua pihak dan
kepentingan dapat menyampaikan posisi dan pandangannya secara bebas. Pandangan
semacam ini yang ditolak oleh kaum kritis. Pandangan kritis melihat media bukan
hanya alat dari kelompok dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan.
Lewat medialah, ideologi dominan, apa yang baik dan apa yang buruk dimapankan.
Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi
realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Dalam pandangan
kritis, media juga dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada dalam
masyarakat.
Titik penting dalam
memahami media menurut paradigm kritis adalah bagaimana media melakukan
pemaknaan. Makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktik. Makna, secara
sederhana tidaklah dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi
sebuah pertentangan sosial, perjuangan dalam memenangkan wacana. Oleh sebab
itu, pemaknaan yang berbeda merupakan arena pertarungan di mana memasukkan
bahasa di dalamnya. Perjuangan antarkelompok ini melahirkan pemaknaan untuk
mengunggulkan satu kelompok dan merendahkan kelompok lain. Media di sini
dipandang sebagai arena perang antarkelas. Media dapat dilihat sebagai forum
bertemunya semua kelompok dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Setiap pihak
berusaha menonjolkan basis penafsiran, klaim, dan argumentasi masing-masing.
Dalam konteks ini, setiap pihak menggunakan logika, penafsiran, dan bahasa
tertentu agar pandangannya lebih diterima oleh publik. Dalam pandangan kritis,
pada akhirnya diterima kelompok dominanlah yang lebih menguasai pembicaraan dan
menentukan arena wacana.
Persoalan
yang utama pada lalu lintas pertukaran dan produksi makna ini adalah siapa yang
memegang kendali dalam memberikan pemaknaan. Dalam realitas sosial, siapa yang
memegang kendali sebagai agen memproduksi makna, dan siapa atau kelompok mana
yang hanya berperan sebagai konsumen saja dari pemakaian tersebut. Seperti yang
dikatakan Hall, pertarungan symbol dan pemaknaan ini sering kali terjadi dalam
suasana yang tidak seimbang. Satu pihak lebih mempunyai previlese dan akses ke media disbandingkan pihak lain sehingga
pemaknaan satu kelompok lebih dominan dan menguasai media.
c.
Posisi
Wartawan
Pendekatan
pluralis menekankan agar nilai dan hal-hal di luar objek dihilangkan dalam
proses pembuatan berita. Artinya, pertimbangan moral yang dalam banyak hal
selalu bisa diterjemahkan sebagai bentuk keberpihakan haruslah disingkirkan.
Wartawan di sini fungsinyahanyalah sebagai pelapor. Sebagai pelapor, ia hanya
menjalankan tugas untuk memberitakan fakta, dan tidak diperkenankan munculnya
pertimbangan moral atau nilai tertentu.berita ditulis hanyalah untuk fungsi
penjelas (eksplanasi)dalam menjelaskan fakta atau realitas. Paradigma kritis
justru menilai sebaliknya. Aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak
mungkin dihilankan dalam pemberitaan media. Moral yang dalam banyak hal berarti
keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu—umumnya dilandasi oleh
keyakinan tertentu—adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam
membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan di sini bukan hanya pelapor,
karena disadari atau tidakiamenjadi partisipan dari keragaman peafsirandan
subjektifitas dalam publik. Karena fungsinya tersebut, wartawan menulis berita
bukan hanya sebagai penjelas, tetapi membentuk realitas sesuai dengan
kepentingan kelompoknya. Ini karena wartawan tidak dipandang sebagai subjek
netral dan otonom.
Pandangan
kritis bahkan menilai bahwa wartawan pada dasarnya adalah partisipan dari kelompok yang ada dalam
masyarakat. Wartawan adalah bagian dari kelompok atau kelas tertentu dalam
masyarakat, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh wartawan pada dasarnya
sukar dihindari sikap partisipan.Salah satu perbedaan mendasar antara pandangan
pluralis dan kritis ini adalah pada bagaimana wartawan dilihat, terutama
bagaimana kerja profesional dari wartawan ini dipahami. Pandangan liberal
percaya bahwa media adalah sebuah sistem kerja yang dilandasi oleh pembagian
kerja yang rasional. Sebaliknya, pandangan kritis melihat wartawan dan kerja
jurnalistik yang dilakukannya tidak dapat dilepaskan dari sistem kelas.
Wartawan adalahkelas tersendiri dan hubungannya dengan redaktur, pemilik modal,
dan pemasaran adalah relasi antarkelas yang berbeda, bukan hubungan
profesional. Mark Schulman menggambarkan perbedaan tersebut sebagai berikut.
Pertama,
pandangan pluralis melihat wartawan berada dalam suatu sistem yang otonom dan
bekerja murut sistem yang ada. Wartawan adalah bagian dari sistem tersebut dan
menjalankankerja sesuai dengan fungsinya dalam struktur dan pembagian kerja
yang ada. Sistem dan pembagian kerja telah membuat pembagian sedemikian rupa
sehingga orang tinggal melaksanakannya, dan inilah prinsip yang dipercaya oleh
pandangan pluralis. Pandangan semacam ini berbeda dengan pandangan kritis.
Kerja wartawan, kenapa ia bekerja seperti ini bukan seperti itu, kenapa ia
menulis seperti itu bukan yang ini, bukanlah proses penjaga gerbang, tetapi
bagian dari kontrol dan sensor diri. Pihak elit dalam media sengaja megontrol
wartawan dan memberikan serangkaian hukuman bagi yang tidak mengikutinya atau
tidak menuruti proses itudan imbalan bagi yang patuh dan mengikuti proses. Oleh
karena itu, kerja wartwan bukanlah diatur dalam proses dan pembagian kerja,
tetapi dikontrol kesadaran kelas mereka dalam posisi dengan kelompok elit.
Kedua,
berhubungan dengan landasan apa yang dipakai oleh wartawan ketika meliput dan
meulis berita. Dalam pandangan pluralis, fakta apa yang ditulis, bagian mana
uang ditonjolkan, fakta apa yang seharusnya tidak ditulis, dan semua proses
kerja jurnalistik pada dasarnya diatur dengan pertimbangan etis dan
profesional. Sebaliknya, dalam pandangan kritis, semua proses dan kerja berita
bukanlah didasarkan pada landasan etis dan profesional, tetapi landasan
ideologis. Kenapa wartawan tidak menulis suatu fakta, kenapa berita ditulis
dengan cara tertentu bukanlah karenapertimbangan etis tetapi pertimbangan
ideologis. Ideologilah yang mendorong wartawan untuk menulis berita dengan cara
seperti itu.
Ketiga,
bagaimana profesionalisme dipandang dan dilihat. Dalam pandangan pluralis,
profesionalisme adalah elemenyang menguntungkan karena dengan cara itu proses
produksi berita dapat berjalan. Prinsip seperti menyelesaikan tugas, deadline,
adalah bagian dari kerja profesional yang meguntungkan dan membuat produksi
berita berjalan secara konstan. Pandangan kritis sebaliknya melihat prinsip
profesionalisme sebagai bagian dari kontrol, ia merupakan praktik dari
kedisiplinan, apa yang boleh, apa yang tidak boleh, apa yang benar dan
seharusnya dilakukan, apa yang dilarang
dan seharusnya tidak dilakukan oleh wartawan. Dengan berbagai aturan
profesional dan modern itu, ia tidak bebas dan bertindak dengan kontrol
mekanismme yang telah ditentukan.
Keempat,
berkaitan dengan hubungan antara wartawan dengan orang lain dalam media.
Pandangana pluralis melihat wartawan adalah bagian dari suatu tim yang tujuan
akhirnya adalah menyingkap kebenaran. Pandangan ini bertolak belakang dengan
pandangan kritis yang lebih melihat wartawan tidak lain sebagai pekerja. Ia
bukanlah anggota satu tim sebagaimana digambarkan, tetapi sebagai salah seorang
pemain dari serangkaian orang dengan posisi yang berbeda. Masing-masing orang
dan posisi saling bertarung dan tujuan akhirnya adalah mengontrol, agar
pandangannya lebih diterima dan mewarnai pemberitaan.
d.
Hasil
Liputan
Perbedaan antara
pendekatan pluralis dan kritis dalam memahami berita, mengakibatkan perbedaan
pula dalam hal bagaimana hasil kerja seseorang wartawan seharusnya dinilai.
Dalam pandangan pluralis, diandaikan ada standar yang baku dari hasil kerja
jurnalistik. Standar yang baku itu sering kali dikatakan sebagai peliputan yang
berimbang, dua sisi, netral, dan objektif. Peliputan yang berimbang artinya
menampilkan pemandangan yang setara antara pihak-pihak yang terlibat dan hendak
di beritakan.
Dalam
pandangan pluralis, bahasa jurnalistik seharusnya adalah bahasa yang straight,
langsung, tanpa opini dan penafsiran wartawan, sehingga fungsi bahasa sebagai pengantar
realistis itu terwujud..Bahasa dalam jurnalistik dapat menyampaikan realitas
apa adanya kepada khalayak. Sebaliknya, pandangan kritis mempunyai konsepsi
yang berbeda dalam memandang bahasa. Dengan mengutipMorley, Hacket menyatakan
bahwa bahasa tidaklah mungkin bebas nilai. Karena begitu realitas hendak
dibahasakan, selalu terkandung ideologi
dan penilaian. Semua realitas ditransmisikan lewat bahasa. Oleh karena itu,
objektivitas tidaklah secara sederhana dapat dinilai dari apakah ada perbedaan
antara realitas dengan realitas yang terbentuk. Dalam pandangan Fiske dan
Hartley, hal itu bukanlah distorsi dari realitas, tetapi lebih sebagai proses
aktif lewat bhasa bagaimana realitas itu di maknai dan dibentuk.
0 comments