Tuesday 16 May 2017

PARADIGMA KRITIS


PARADIGMA KRITIS
Paradigma kritis sering kali dilawankan dengan tradisi lain, yaitu pluralis.  Perbedaan dan pembagian pandangan media antara kritis dan pluralis dapat memperhitungkan filosofi media dan pandangan bagaimana hubungan antara media, masyarakat dan filosofis kehadiran media di tengah masyarakat.  Inti dari aliran ini terutama adalah kepercayaan bahwa masyarakat adalah wujud dari konsensus dan mengutamakan keseimbangan. Pandangan ini percaya dengan ide liberal ini, dilihat memainkan satu diantara fungsi yang ada dalam masyarakat.
Paradigma Kritis
Paradigma kritis bersumber dari pemikiran sekolah Frankfurt. Ketika sekolah Frankrut itu tumbuh, di Jerman tengah berlangsung proses propaganda besar-besaran Hitler. Media dipenuhi oleh prasangka, retorika, dan propaganda. Media menjadi alat dari pemerintah untuk mengontrol publik, menjadi sarana pemerintah untuk mengobarkan semangat perang. Dari sekolah Frankfurt ini lahirlah pemikiran yang berbeda, yang kemudian dikenal sebagai aliran kritis. Paradigma ini percaya bahwa media adalah sarana untuk kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahwa memarjinalkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media.
Aliran sekolah Frankfrut banyak memperhatikan aspek ekonomi politik dalam proses penyebaran pesan. Seperti ditulis Sindhunata, teori kritis lahir karena ada keprihatinan akumulasi dan kapitalisme lewat modal yang besar, yang mulai menentukan dan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Modal inilah yang kini menggerakkan dan menentukan masyarakat. Individu tidak lagi mempunyai kontrol terhadap modal tersebut, mala secara alamiah pula—jadi di luar kesadarannya—ia harus menyesuaikan dengan masyarakat yang dikuasai modal. Salah satu sifat dasar dari teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini. Karena kondisi masyarakat yang kelihatannya produktif, dan bagus tersebut sesungguhnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak. Sebut misalnya dalam proses berita. Kondisi berita saat ini dengan akumulasi modal besar-besaran menyatakan bahwa berita itu objektif. Sehingga pertanyaan yang dikembangkan adalah bagaimana supaya media dapat meliput peristiwa dengan objektif.
Pemikiran Madzhab Frankfurtdikembangkan lebih lanjut oleh Stuart Hall. Dalam tulisannya yang telah menjadi klasik, The Rediscovery of Ideology: The Return of the Repressed in Media Studies? Hall mengkritik kecenderungan studi media yang tidak menempatkan ideologi sebagai bagian penting. Sejak tahun 1960-an, studi media didominasi oleh pendekatan behavioris terutama di Amerika. Penelitian dalam tradisi ini mengandaikan media mempunyai kekuatan yang besar. Akan tetapi, media di sini dipandang bukan merupakan masalah yang serius/besar dalam masyarakat. Dalam tradisi penelitian empiris, terutama di Amerika, masyarakat dilihat sebagai pluralis, terdiri dari berbagai kelompok yang berbeda kepentingannya, dan pluralis itu yang akan ditampilkan dalam media, seperti aspek atau struktur lain dalam masyarakat demokratis. Beragam kepentingan itu akan mencapai titik ekuilibrium dengan sendirinya, asalkan dibiarkan alami, tidak melalui proses paksaan. Restriksi seperti dalam negara totaliter justru akan menghalangi terciptanya keteraturan dalam masyarakat. Masyarakat yang demokratis dapat mengatasi perbedaan dan pluralitas di mana semua anggota masyarakat diandaikan mempunyai saluran dan dapat menyampaikan apa yang ingin dia katakan kepada khalayak. Dominasi studi dia semacam ini, merupakan perlawanan dari paradigma yang berkembang tahun 1940-an, terutama yang dipelopori oleh sekolah Frankfurt. Penelitian dalam dalam tradisi ini terutama melihat media sebagai kekuatan besar yang berperan dalam memanipulasi kesadaran dan kenyataan.
Perbedaan paradigma tersebutmenurut Hall, tidak hanya perbedaan dalam metode atau prosedur penelitian tetapi juga orientasi teoritik. Hall mengajukan gagasan mengenai peranan ideologi dalam studi isi teks media, yang dalam beberapa tahun absen dalam studi media. Stuart Hall mengkritik pandangan-pandangan kaum pluralis. Kaum pluralis percaya bahwa media memainkan peranan dalam membentuk konsensus dalam masyarakat, melalui konsensus itu media secara fungsional menempatkan dirinya di tengah masyarakat. Akan tetapi menurut Hall, kaum pluralis melihat peran konsensional itu terjadi secara alamiah, begitu saja terjadi dalam sistem dan struktur yang telah ada. Padahal, pembentukan konsensus ini terjadi lewat proses yang rumit, kompleks, dan melibatkan kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Di sini, media harusnya dilihat bukan sebagai “kekuatan jahat” yang memang didesain untuk memburukkan kelompok lain. Media menjalankan perannya seperti itu, melakukan representasi kelompok lain melalui proses yang kompleks, melalui proses pendefinisian dan penandaan, sehingga ketika ada kelompok yang buruk dalam pemberitaan, itu dipresentasikan sebagai sesuatu yang wajar, terlihat alamiah, memang demikian kenyataanya.
Titik sentral pemikiran pluralis adalah beragamnya pendapat yang pada akhirnya mencapai ekuilibrium dalam bentuk konsensus. Konsensus adalah sesuatu yang baik, media memainkan peranan penting dalam menciptakan konsensus tersebut. Hall dalam tulisannya memasukkan teori mengenai normal dan penyimpangan. Teori penyimpangan menekankan pluralisme sebagai kepura-puraan, menyediakan definisi diskriminatif dari masyarakat atau partisipasi aktif dari kelompok lain. Terjadinya konsensus antara yang normal dan menyimpang menurut Hall bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah, tetapi didefinisikan secara sosial. Pandangan ini tentu saja mengkritik pandangan pluralis yang menganggap konsensus adalah sesuatu yang alamiah yang akan terjadi dengan sendirinya. Dalam pandangan Hall konsensus ini bekerja lewat pertarungan kekuasaan yang menghasilkan konsensus semacam itu.
Konsensus dibentuk melalui praktik sosial, politik, disiplin legal, dan bagaimana kelas, kekuasaan, serta otoritas itu ditempatkan. Menurut Hall konsensus tidak timbul secara alamiah dan spontan tetapi tetapi terbentuk lewat proses yang kompleks yang melibatkan konstruksi sosial dan legitimasi. Media memainkan peranan penting. Media tidaklah secara sederhana dipandang refleksi dari konsensus, tetapi media mereproduksi dan memapankan definisi dari situasi yang mendukung dan melegitimasi suatu struktur, mendukung suatu tindakan, dan mendelegitimasi tindakan lain. Realitas tidak dipahami sebagai seperangkat fakta, tetapi hasil dari pandangan tertentu dari pembentukan realitas. Konstruksi realitas lewat media, menempatkan masalah representasi menjadi isu utama dalam penelitian kritis. Berbeda dengan pandangan pluralis yang melihat realitas adalah sesuatu yang ada dan terbentuk dengan sendirinya, dalam tradisi kritis realitas tersebut diproduksi oleh representasi dari kekuatan-kekuatan sosial dominan yang ada dalam masyarakat. Paradigma kritis menurut Hall bukan hanya mengubah pandangan mengenai realitas yang dipandang alamiah tersebut, tetapi juga berargumentasi bahwa media adalah kunci utama dari pertarungan kekuasaan, melalui mana nilai-nilai kelompok dominan dimapankan, dibuat berpengaruh, dan menentukan apa yang diinginkan oleh khalayak.
Dalam proses pembentukan realitas, ada dua titik perhatian Stuart Hall. Pertama, bahasa. Bahasa sebagaimana dipahami oleh kalangan strukturalis merupakan sistem penandaan. Realitas dapat ditandakan secara berbeda pada peristiwa yang sama. Makna yang berbeda dapat dilekatkan pada peristiwa yang sama. Makna timbuk dari proses pertarungan sosial, masing-masing pihak atau kelompok saling mengajukan klaim kebenarannya sendiri. Wacana dipahami sebagai arena pertarungan sosial dan semuanya diartikulasikan lewat bahasa. Bahasa dan wacana di sini dianggap sebagai arena pertarungan sosial dan bentuk pendefinisian realitas. Jadi, kenapa A harus kita tafsirkan seperti ini bukan seperti itu, dikarenakan lewat pertarungan sosial dalam memperebutkan dan memperjuangkan makna, pada akhirnya penafsiran atau pemaknaan tertentu yang menang dan lebih diterima, akibatnya penafsiran atau pemaknaan lain dianggap tidak benar/menyimpang.
Kedua, politik penandaan, yakni bagaimana praktik sosial dalam membentuk makna, mengontrol, dan menentukan makna. Titik perhatian Hall di sini adalah peran media dalam menandakan peristiwa atau realitas dalam pandangan tertentu, dan menunjukkan bagaimana kekuasaan ideologi berperan: ideologi menjadi bidang pertarungan dari kelompok yang ada dalam masyarakat. Akan tetapi, posisi demikian juga menunjukkan bahwa ideologi melekat dalam produksi sosial, produksi media, dan sistem budaya. Efek dari ideologi dalam media adalah menampilkan pesan dan realitas hasil konstruksi tersebut tampak seperti nyata, natural, dan benar. Pengertian tentang realitas itu tergantung pada bagaimana sesuatu tersebut ditandakan dan dimaknai. Wacana berada di tengah, menempatkan apa yang kita asumsikan tentang dunia dan apa yang dapat kita katakan sebagai suatu kebenaran.
Media dan Berita Dilihat dari Paradigma Kritis
            Paradigma kritis mempunyai pandangan tersendiri terhadap berita, yang bersumber pada bagaimana berita tersebut diproduksi dan bagaimana kedudukan wartawan dan media adalah entitas yang otonom, dan berita yang dihasilkan haruslah menggambarkan realitas yang terjadi di lapangan. Sementara paradigma kritis mempertanyakan posisi wartawan dan media dalam keseluruhan struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Pada akhirnya posisi tersebut mempengaruhi berita, bukan pencerminan dari realitas yang sesungguhnya. Perbedaan tersebut dapat digambarkan selengkapnya sebagai berikut:

PANDANGAN PLURALIS
PANDANGAN KRITIS
Fakta
 

Ada fakta yang real yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal.

Fakta merupakan hasil dari proses pertarungan antara kekuatan ekonomi, politik, dan sosial yang ada dalam masyarakat.

Berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Oleh karena itu, berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput.

Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas, karena berita yang terbentuk hanya cerminan dari kepentingan kekuatan dominan.
Posisi Media
 


Media adalah sarana yang bebas dan netral tempat semua kelompok masyarakat saling berdiskusi yang tidak dominan.


Media hanya dikuasai oleh kelompok dominan dan menjadi sarana untuk memojokkan kelompok lain.

Media menggambarkan diskusi apa yang ada dalam masyarakat.

Media hanya dimanfaatkan dan menjadi alat kelompok dominan.
Posisi Wartawan
 

Nilai dan ideologi wartawan berada di luar proses peliputan berita.

Nilai dan ideologi wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa.

Wartawan berperan sebagai pelapor.

Wartawan berperan sebagai partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat.

Tujuan peliputan dan penulisan berita: eksplanasi dan menjelaskan apa adanya memburukkan kelompok.

Tujuan peliputan dan penulisan berita: pemihakan kelompok sendiri dan atau pihak lain.

Penjaga gerbang (gatekeeping).

Sensor diri.
Landasan etis.
Landasan ideologis.

Profesionalisme sebagai keuntungan.

Profesionalisme sebagai kontrol.

Wartawan sebagai bagian dari tim untuk mencari kebenaran.

Sebagai pekerja yang mempunyai posisi berbeda dalam kelas sosial.
Hasil Liputan


Liputan dua sisi, dua pihak, dan kredibel.

Mencerminkan ideologi wartawan dan kepentingan sosial, ekonomi, atau politik tertentu.

Objektif, menyingkirkan opini dan pandangan subjektif dari pemberitaan.

Tidak objektif, karena wartawan adalah bagian dari kelompok/struktur sosial tertentu yang lebih besar.

Memakai bahasa yang tidak menimbulkan penafsiran yang beraneka.

Bahasa menunjukkan bagaimana kelompok diunggulkan dan memarjinalkan kelompok lain.

a.      Fakta
Pandangan  kaum kritis, realitas merupakan kenyataan semu yang telah terbentuk oleh proses kekuatan sosial, politik, dan ekonomi. Oleh karena itu, mengharapkan realitas apa adanya tidak mungkin, karena telah tercelup oleh kelompok ekonomi dan politik yang dominan. Namun bagi kaum pluralis, berita adalah refleksi dan pencerminan dari realitas. Berita adalah mirror of reality, sehingga harus mencerminkan realitas yang hendak diberitakan. Pandangan ini ditolak oleh pandangan kritis. Menurut kaum kritis, berita adalah hasil dari pertarungan wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan dan ideologi wartawan atau media, dan umumnya akan dimenangkan  oleh kekuatan dominan dalam masyarakat.
Menurut Stuart Hall, realitas tidaklah secara sederhana dapat dilihat sebagai satu set fakta, tetapi hasil dari ideologi atau pandangan tertentu. Definisi ini selalu bermakna sebagai pedefinisian secara selektif realitas yang hendak ditampilkan. Implikasinya adalah suatu persoalan atau peristiwa di dunia nyata tidak mengandung atau menunjukkan makna integral, tunggal, intrinsik, dan makna yang muncul hanyalah makna yang ditransformasikan melalui bahasa. Makna dalam dalam konteks ini adalah sebuah produksi sosial, hasil dari sebuah praktik. Bahasa dan simbolisasi adalah perangkat yang digunakan untuk memproduksi makna. Pendekatan ini mereduksi posisi ide-ide penting bahasa yang menopang analisis isi lama sehingga term atau kalimat tertentu dapat secara mudah dianggap valid dengan mengacu pada apa yang direferensikannya di dunia nyata.
Pada pandangan realis/pluralis, apa yang terjadi dan apa yang terlihat adalah fakta yang sebenarnya yang dapat diliput oleh wartawan. Hal ini disanggah oleh pandangan kritis yang menyatakan bahwa realitas yang hadir di depan wartawan sesungguhnya adalah realitas yang telah terdistorsi. Misalnya, peristiwa mogok kerja karyawan Pabrik Rokok Gudang Garam di Kediri. Realitas yang muncul adalah aktivitas masyarakat yang sepi, terjadi kericuhan di beberapa tempat, dan turunnya pendapatan pemerintah dari cukai. Dalam panadangan posivistik, apa yang terjadi tersebut adalah realitas, sebuah fakta yang bisa di jadikan berita. Akan tetapi, menurut kaum kritis, realitas yang hadir tersebut adalah menipu. Di sini, realitas yang hadir bukanlah realitas dalam arti yang terbaeri (given), tetapi sudah melewati proses konstruksi, dan hal tersebut ditentukan oleh kekuatan yang dominan memberi pengaruh yang besar dalam fakta yang hadir di tengah masyrakat. Hadirnya fakta berupa kericuhan adalah kemenangan dari kelompok dominan untuk memberi pemaknaan sesuai dengan kepentingan mereka.

b.      Posisi Media
Kaum pluralis melihat media sebagai saluran yang bebas dan netral, di mana semua pihak dan kepentingan dapat menyampaikan posisi dan pandangannya secara bebas. Pandangan semacam ini yang ditolak oleh kaum kritis. Pandangan kritis melihat media bukan hanya alat dari kelompok dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan. Lewat medialah, ideologi dominan, apa yang baik dan apa yang buruk dimapankan. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Dalam pandangan kritis, media juga dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.
Titik penting dalam memahami media menurut paradigm kritis adalah bagaimana media melakukan pemaknaan. Makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktik. Makna, secara sederhana tidaklah dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial, perjuangan dalam memenangkan wacana. Oleh sebab itu, pemaknaan yang berbeda merupakan arena pertarungan di mana memasukkan bahasa di dalamnya. Perjuangan antarkelompok ini melahirkan pemaknaan untuk mengunggulkan satu kelompok dan merendahkan kelompok lain. Media di sini dipandang sebagai arena perang antarkelas. Media dapat dilihat sebagai forum bertemunya semua kelompok dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Setiap pihak berusaha menonjolkan basis penafsiran, klaim, dan argumentasi masing-masing. Dalam konteks ini, setiap pihak menggunakan logika, penafsiran, dan bahasa tertentu agar pandangannya lebih diterima oleh publik. Dalam pandangan kritis, pada akhirnya diterima kelompok dominanlah yang lebih menguasai pembicaraan dan menentukan arena wacana.
Persoalan yang utama pada lalu lintas pertukaran dan produksi makna ini adalah siapa yang memegang kendali dalam memberikan pemaknaan. Dalam realitas sosial, siapa yang memegang kendali sebagai agen memproduksi makna, dan siapa atau kelompok mana yang hanya berperan sebagai konsumen saja dari pemakaian tersebut. Seperti yang dikatakan Hall, pertarungan symbol dan pemaknaan ini sering kali terjadi dalam suasana yang tidak seimbang. Satu pihak lebih mempunyai previlese dan akses ke media disbandingkan pihak lain sehingga pemaknaan satu kelompok lebih dominan dan menguasai media.
c.       Posisi Wartawan
Pendekatan pluralis menekankan agar nilai dan hal-hal di luar objek dihilangkan dalam proses pembuatan berita. Artinya, pertimbangan moral yang dalam banyak hal selalu bisa diterjemahkan sebagai bentuk keberpihakan haruslah disingkirkan. Wartawan di sini fungsinyahanyalah sebagai pelapor. Sebagai pelapor, ia hanya menjalankan tugas untuk memberitakan fakta, dan tidak diperkenankan munculnya pertimbangan moral atau nilai tertentu.berita ditulis hanyalah untuk fungsi penjelas (eksplanasi)dalam menjelaskan fakta atau realitas. Paradigma kritis justru menilai sebaliknya. Aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilankan dalam pemberitaan media. Moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu—umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu—adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan di sini bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidakiamenjadi partisipan dari keragaman peafsirandan subjektifitas dalam publik. Karena fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas, tetapi membentuk realitas sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Ini karena wartawan tidak dipandang sebagai subjek netral dan otonom.
Pandangan kritis bahkan menilai bahwa wartawan pada dasarnya adalah partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat. Wartawan adalah bagian dari kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh wartawan pada dasarnya sukar dihindari sikap partisipan.Salah satu perbedaan mendasar antara pandangan pluralis dan kritis ini adalah pada bagaimana wartawan dilihat, terutama bagaimana kerja profesional dari wartawan ini dipahami. Pandangan liberal percaya bahwa media adalah sebuah sistem kerja yang dilandasi oleh pembagian kerja yang rasional. Sebaliknya, pandangan kritis melihat wartawan dan kerja jurnalistik yang dilakukannya tidak dapat dilepaskan dari sistem kelas. Wartawan adalahkelas tersendiri dan hubungannya dengan redaktur, pemilik modal, dan pemasaran adalah relasi antarkelas yang berbeda, bukan hubungan profesional. Mark Schulman menggambarkan perbedaan tersebut sebagai berikut.
Pertama, pandangan pluralis melihat wartawan berada dalam suatu sistem yang otonom dan bekerja murut sistem yang ada. Wartawan adalah bagian dari sistem tersebut dan menjalankankerja sesuai dengan fungsinya dalam struktur dan pembagian kerja yang ada. Sistem dan pembagian kerja telah membuat pembagian sedemikian rupa sehingga orang tinggal melaksanakannya, dan inilah prinsip yang dipercaya oleh pandangan pluralis. Pandangan semacam ini berbeda dengan pandangan kritis. Kerja wartawan, kenapa ia bekerja seperti ini bukan seperti itu, kenapa ia menulis seperti itu bukan yang ini, bukanlah proses penjaga gerbang, tetapi bagian dari kontrol dan sensor diri. Pihak elit dalam media sengaja megontrol wartawan dan memberikan serangkaian hukuman bagi yang tidak mengikutinya atau tidak menuruti proses itudan imbalan bagi yang patuh dan mengikuti proses. Oleh karena itu, kerja wartwan bukanlah diatur dalam proses dan pembagian kerja, tetapi dikontrol kesadaran kelas mereka dalam posisi dengan kelompok elit.
Kedua, berhubungan dengan landasan apa yang dipakai oleh wartawan ketika meliput dan meulis berita. Dalam pandangan pluralis, fakta apa yang ditulis, bagian mana uang ditonjolkan, fakta apa yang seharusnya tidak ditulis, dan semua proses kerja jurnalistik pada dasarnya diatur dengan pertimbangan etis dan profesional. Sebaliknya, dalam pandangan kritis, semua proses dan kerja berita bukanlah didasarkan pada landasan etis dan profesional, tetapi landasan ideologis. Kenapa wartawan tidak menulis suatu fakta, kenapa berita ditulis dengan cara tertentu bukanlah karenapertimbangan etis tetapi pertimbangan ideologis. Ideologilah yang mendorong wartawan untuk menulis berita dengan cara seperti itu.
Ketiga, bagaimana profesionalisme dipandang dan dilihat. Dalam pandangan pluralis, profesionalisme adalah elemenyang menguntungkan karena dengan cara itu proses produksi berita dapat berjalan. Prinsip seperti menyelesaikan tugas, deadline, adalah bagian dari kerja profesional yang meguntungkan dan membuat produksi berita berjalan secara konstan. Pandangan kritis sebaliknya melihat prinsip profesionalisme sebagai bagian dari kontrol, ia merupakan praktik dari kedisiplinan, apa yang boleh, apa yang tidak boleh, apa yang benar dan seharusnya dilakukan, apa yang dilarang  dan seharusnya tidak dilakukan oleh wartawan. Dengan berbagai aturan profesional dan modern itu, ia tidak bebas dan bertindak dengan kontrol mekanismme yang telah ditentukan.
Keempat, berkaitan dengan hubungan antara wartawan dengan orang lain dalam media. Pandangana pluralis melihat wartawan adalah bagian dari suatu tim yang tujuan akhirnya adalah menyingkap kebenaran. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan kritis yang lebih melihat wartawan tidak lain sebagai pekerja. Ia bukanlah anggota satu tim sebagaimana digambarkan, tetapi sebagai salah seorang pemain dari serangkaian orang dengan posisi yang berbeda. Masing-masing orang dan posisi saling bertarung dan tujuan akhirnya adalah mengontrol, agar pandangannya lebih diterima dan mewarnai pemberitaan.

d.      Hasil Liputan
Perbedaan antara pendekatan pluralis dan kritis dalam memahami berita, mengakibatkan perbedaan pula dalam hal bagaimana hasil kerja seseorang wartawan seharusnya dinilai. Dalam pandangan pluralis, diandaikan ada standar yang baku dari hasil kerja jurnalistik. Standar yang baku itu sering kali dikatakan sebagai peliputan yang berimbang, dua sisi, netral, dan objektif. Peliputan yang berimbang artinya menampilkan pemandangan yang setara antara pihak-pihak yang terlibat dan hendak di beritakan.
Dalam pandangan pluralis, bahasa jurnalistik seharusnya adalah bahasa yang straight, langsung, tanpa opini dan penafsiran wartawan, sehingga fungsi bahasa sebagai pengantar realistis itu terwujud..Bahasa dalam jurnalistik dapat menyampaikan realitas apa adanya kepada khalayak. Sebaliknya, pandangan kritis mempunyai konsepsi yang berbeda dalam memandang bahasa. Dengan mengutipMorley, Hacket menyatakan bahwa bahasa tidaklah mungkin bebas nilai. Karena begitu realitas hendak dibahasakan, selalu terkandung ideologi dan penilaian. Semua realitas ditransmisikan lewat bahasa. Oleh karena itu, objektivitas tidaklah secara sederhana dapat dinilai dari apakah ada perbedaan antara realitas dengan realitas yang terbentuk. Dalam pandangan Fiske dan Hartley, hal itu bukanlah distorsi dari realitas, tetapi lebih sebagai proses aktif lewat bhasa bagaimana realitas itu di maknai dan dibentuk.




Load disqus comments

0 comments