PENYERAPAN BAHASA SANSKERTA KE DALAM
BAHASA INDONESIA
Kata-kata dari bahasa Sansekerta
diserap ke dalam bahasa Indonesia melalui empat cara: (1) penyerapan langsung
bentuk transkripsi ortografis dan makna leksikalnya; (2) penyerapan langsung
bentuk transkripsi ortografis, tetapi maknanya berubah; (3) penyerapan dengan
perubahan bentuk
transkripsi ortografis tanpa mengubah maknanya; (4) penyerapan dengan perubahan bentuk transkripsi ortografis sekaligus makna kata-kata yang diserap.
transkripsi ortografis tanpa mengubah maknanya; (4) penyerapan dengan perubahan bentuk transkripsi ortografis sekaligus makna kata-kata yang diserap.
Ketidaktahuan penutur bahasa
Indonesia terhadap bentuk asli, makna asal, serta bentuk-bentuk kata serapan
yang secara ortografis mirip dengan bentuk lain mengakibatkan munculnya masalah
dalam pemakaian berupa kesalahpahaman konsep dasar, kesalahan generalisasi, dan
keanehan/pertentangan makna kosakata serapan dalam pemakaian.
Kontak multilateral Indonesia dengan bangsa-bangsa lain
menyebabkan terserapnya kata-kata dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia.
Maka, di samping diperkaya oleh kata-kata dari bahasa-bahasa daerah di
Nusantara, dalam kosakata bahasa Indonesia diserap juga kata-kata dari berbagai
bahasa asing (Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, Cina, dll.) (Munandir
& Hanafi, 2005). Adapun yang terjadi sesungguhnya adalah saling pengaruh
antarbahasa dari bangsa-bangsa tersebut. Bukan hanya bahasa Indonesia yang
menyerap bahasa asing, bahasa asing pun sebaliknya juga menyerap kosakata dari
bahasa Indonesia (Bawa, 1998; Yari, 2008).
Jika
bahasa Indonesia menyerap kata-kata macam adopsi, bos, fair, hobi, dan katering
dari bahasa Inggris, misalnya, bahasa Inggris pun menyerap kata-kata seperti amok,
agar-agar, orangutan, wayang, dari bahasa Indonesia (Melayu). Jika bahasa
Indonesia menyerap buku dan sekolah dari bahasa Belanda, bahasa
Belanda pun menyerap amuk dan nasi goreng dari bahasa Indonesia. Banyak
orang mengira, kata-kata seperti agama, durhaka, surga, neraka, pahala, dan
dosa berasal dari bahasa Arab. Biarpun salah, hal ini tidak mengherankan.
Lewat media massa maupun dakwah Islam, kata-kata tersebut telah cukup lama
menjadi “kosa kata harian” dakwah Islam dan agama ini kebetulan memang berasal
dari bangsa Arab. Tidak semua orang Indonesia menyadari bahwa sesungguhnya
kata-kata tersebut diserap dari bahasa Sansekerta, yang memang lebih dulu masuk
memengaruhi bahasa-bahasa di Nusantara (de Casparis, 1997).
Memang
dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama ini, kata-kata serapan dari bahasa
Sansekerta banyak dipakai untuk ranah penting, resmi, dan pada tataran atas
menyentuh dunia kekuasaan. Nama dasar negara Pancasila, semboyan
integrasi nasional Bhineka Tunggal Ika, semboyan TNI Swabuana Paksa,
Jala Sena Stri, Jalesveva Jayamahe, nama gedung Bina Graha, Graha
Wiyata, Samapta Kridha Graha, nama penghargaan nasional dari negara seperti
Parasamya Kertanugraha, Pataka Parasamya Purnakarya Nugraha, Anugerah
Adipura, Satya Purnabhakti Kencana, diserap dari kata-kata bahasa
Sansekerta.
Tulisan
ini memaparkan contoh kata-kata serapan dari bahasa Sansekerta dan permasalahan
kebahasaan yang muncul darinya. Data tulisan ini bersumber pada pustaka utama Kamus
Kata Serapan Bahasa Indonesia (Munandir & Hanafi, 2005) dan dilengkapi
dengan pustaka Sanskrit in Indonesia (Gonda, 1952) serta ”Sanskrit
Loan-Words in Indonesian” (de Casparis, 1997).
Konsep Dasar
Kata Serapan
Kata serapan atau kata pinjaman (loan
word) adalah kata yang dipinjam dari bahasa lain (Hudson, 1986: 58) dan
kemudian sedikit banyaknya disesuaikan dengan kaidah bahasa sendiri
(Kridalaksana, 1993). Dalam
proses penyerapan tersebut, penutur menggunakan kata-kata dari bahasa lain
untuk mengacu benda, proses, cara berperilaku, berorganisasi, atau berpikir
karena tidak adanya atau tidak memadainya kata-kata dalam bahasanya sendiri.
Penyerapan juga terjadi karena relasi timpang akibat tekanan politik
imperialisme (Robins, 1989). Misalnya, banyak kata bahasa Prancis masuk ke
dalam bahasa Inggris terjadi setelah penaklukan Inggris oleh bangsa Normandia
(yang berbahasa Prancis) banyak sekali kata bahasa Inggris yang masuk ke dalam
bahasa-bahasa di India ketika Inggris menjajah India.
Biasanya
kata pinjaman disesuaikan dengan kelas bunyi fonetis dan pola fonologis bahasa
peminjam. Konsonan dan vokal asli diganti dengan segmen semirip mungkin dengan
yang terdapat dalam bahasa peminjam walaupun memang ada yang langsung diterima
tanpa penyesuaian fonologis (Robins, 1989). Ketika bahasa Indonesia menyerap atom
dan radio dari bahasa Belanda, proses itu berupa penyerapan yang ada
atau adopsi (adoption). Proses kedua adalah penyesuaian (adaptation),
misalnya kata ghirah dan quwwat dari bahasa Arab, banco
dan domingo dari bahasa Portugis yang kemudian diadaptasi ke dalam
bahasa Indonesia masing-masing menjadi gairah, kuat, bangku, dan minggu.
Proses ketiga adalah penerjemahan (translation) (Hudson, 1986). Misalnya
white house, grass root, frame of reference dalam bahasa Inggris,
masing-masing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi gedung putih,
akar rumput, dan kerangka acuan.
Peminjaman
atau penyerapan tidak hanya terjadi pada antarbahasa bisa juga antardialek
dalam satu bahasa. Peminjaman juga tidak hanya pada unsur kata, tetapi bisa
juga pada unsur fonologis dan unsur gramatikal. Dari sini dibedakan tiga
jenis peminjaman, yaitu peminjaman dialektal, peminjaman gramatikal, dan
peminjaman leksikal (Kridalaksana, 1993).
Peminjaman
dialektal (dialect borrowing) terjadi ketika unsur suatu dialek diserap
ke dalam dialek lain dalam satu bahasa. Contohnya adalah dialek-dialek bahasa
Indonesia (dialek Ambon, dialek Minahasa, dialek Palembang, dialek Banjar,
dialek Surabaya) menyerap kata-kata entar, ngapain, dicuekin, dianterin,
gokil, dari bahasa Indonesia dialek Betawi. Peminjaman gramatikal (grammatical
borrowing) terjadi ketika unsur morfologis atau sintaksis dalam bahasa atau
dialek diserap ke dalam bahasa atau dialek lain dalam satu bahasa. Sebagai
unsur morfologis, morfem afiks –wan dari bahasa Sansekerta misalnya,
diserap ke dalam bahasa Indonesia, sehingga terbentuk kata setiawan,
agamawan, dan budayawan.
Peminjaman
leksikal (lexical borrowing) terjadi ketika kata-kata dari suatu bahasa
masuk menjadi anggota kosakata bahasa lain (Hadson, 1986). (Konsep ketiga
inilah yang dirujuk dalam tulisan ini). Misalnya, dari bahasa Belanda, bahasa
Indonesia menyerap kata-kata seperti zus, barak, wol, bandit, wortel,
abonemen, wastafel, versus, trauma, bludreg, tegel, tante, stempel, ronde,
dll. (Munandir & Hanafi, 2005).
Kata Serapan dari Bahasa Sanskerta
Bahasa Sanskerta adalah bahasa sastra bagi pemeluk Hindu di
India. Sebagai satu diantara anggota rumpun bahasa Indo-Eropa, bahasa Sanskerta
secara historis dibedakan atas bahasa Sanskerta Veda dan bahasa Sanskerta
Klasik. Bahasa Sanskerta masuk ke Nusantara bersamaan dengan masuknya Hindu sekitar
abad IV (Cooper, 2004).
Berdasarkan berubah atau tidak berubahnya arti suatu kata,
kosakata serapan dari bahasa Sanskerta dapat dibedakan ke dalam
kelompok-kelompok berikut.
Pertama, kata-kata
yang relatif langsung diserap baik bentuk transkripsi ortografis maupun makna
leksikalnya. Contoh:
Tabel 1 Penyerapan Transkripsi
Ortografis dan Makna Leksikal
Bahasa
Sanskerta
|
Bahasa
Indonesia
|
Makna
Leksikal
|
āgama
|
agama
|
bentuk kepercayaan kepada Tuhan,
dewa, dengan ajaran peribadatan dan kewajiban lain
|
aneka
|
aneka
|
beragam-ragam, berjenis-jenis
|
ãntara
|
antara
|
jarak, selang
di tengah dua benda
|
Brahma
|
Brahma
|
nama dewa
pencipta alam semesta dalam kepercayaan Hindu
|
brahmana
|
brahmana
|
golongan
kasta tertinggi dalam masyarakat Hindu
|
citra
|
citra
|
gambaran pribadi seseorang,
organisasi, perusahaan, dll.
|
dosa
|
dosa
|
perbuatan melanggar larangan Tuhan
|
dusta
|
dusta
|
perkataan bohong
|
garuda
|
garuda
|
sebangsa
elang besar dan perkasa
|
guru
|
guru
|
orang yang pekerjaannya mengajar
|
Dalam pemakaian praktis di masyarakat Indonesia kontemporer,
makna beberapa kata serapan dapat saja memiliki perbedaan. Hal itu terasa pada
kata guru, agama, dan antara.
Kata guru misalnya, yang di samping berarti ‘pengajar’ juga merujuk
‘nama raja kerajaan dewa di kahyangan’ lengkapnya: Batara Guru. Kata agama
secara generik dimaknai sebagai ‘bentuk kepercayaan kepada Tuhan’, tetapi
khusus di Indonesia saat ini, kata kepercayaan itu sendiri
dipisahtegaskan dari kata agama. Pendeknya, kepercayaan itu bukan agama.
Kepercayaan mengacu ‘keyakinan kepada Tuhan di luar agama resmi yang diakui
negara’. Untuk kepentingan kajian ilmiah, tentu saja arti generiknya yang lebih
dirujuk dan bukan arti politis yang eksklusif seperti di Indonesia itu.
Selanjutnya, kata antara di Indonesia, selain merupakan preposisi dan
konjungsi, juga merujuk nama Kantor Berita Nasional Antara. Kata-kata
serapan yang masuk kelompok pertama ini masih sangat banyak. Contohnya
adalah gulma, istri, jagat, jala, jaya, karya, kepala, laksana, mantra,
mitra, nada, nadi, nama, paksa, putra, putri, raja, raksasa, saksi, sama, sari,
tatkala, wacana, dll.
Kedua, kata-kata
yang relatif langsung diserap bentuk transkripsi ortografisnya, tetapi maknanya
berubah. Perhatikan
Tabel 2:
Tabel 2 Perubahan Makna Kata
Serapan
Bahasa
Sanskerta
|
Bahasa
Indonesia
|
||
Kata
|
Makna
|
Kata
|
Makna
|
alpa
|
tak berarti, tak penting
|
alpa
|
lupa, lalai, lengah
|
candi
|
nama lain Dewi Durga (istri Dewa
Shiwa)
|
candi
|
bangunan kuno
dari batu tempat pemujaan, penyimpanan abu jenazah raja dan pendeta
|
cintã
|
pikiran, perhatian
|
cinta
|
1 senang
sekali; 2 terpikat (lelaki-perempuan)
|
dahaga
|
terbakar, panas
|
dahaga
|
haus, ingin minum
|
guna
|
pandai
|
guna
|
manfaat, faedah
|
keranda
|
keranjang/peti dari bambu
|
keranda
|
peti mati; usungan mayat
|
para
|
lain
|
para
|
kata yang menyatakan plural
|
rãga
|
nafsu, gairah, cinta
|
raga
|
tubuh, badan,
|
upacara
|
1 pelayanan; 2 cara berkata
|
upacara
|
1 peralatan
menurut adat; 2 pelantikan, perayaan peristiwa penting
|
upaya
|
1 kedatangan; 2 siasat
|
upaya
|
usaha, ikhtiar
|
Jika dicermati lebih lanjut, perubahan
makna itu juga berbeda-beda di antara kata-kata serapan tersebut. Makna kata
serapan alpa, cinta, keranda, dan dahaga biarpun mengalami
perubahan tetap berada dalam satu medan makna (semantic field), yakni
bagian sistem semantis yang menggambarkan bagian bidang kehidupan yang
direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya masih berhubungan
(Kridalaksana, 1993: 134). Antara ‘terbakar, panas’ dan ‘haus, ingin minum’
dari kata dahaga, misalnya, dapat saja dinalar sebagai relasi
kausalitas: karena panas, ingin minum. Sementara, perubahan makna kata-kata
seperti candi, guna, para, raga, upacara, dan upaya benar-benar
sudah keluar memasuki medan makna lain. Tidak sulit merasakan perubahan amat
jauh makna kata candi dari ‘nama lain Dewi Durga’ (Durga adalah çakti/istri
Dewa Shiwa) menuju ke ‘bangunan kuno’.
Ketiga, kata-kata serapan yang bentuk
transkripsi ortografisnya berubah, tetapi maknanya tetap bertahan. Perhatikan Tabel 3:
Tabel 3 Perubahan Transkripsi Ortografis
Kata Serapan
Bahasa
Sanskerta
|
Bahasa
Indonesia
|
Makna
|
ãkãça
|
angkasa
|
langit, awang-awang
|
smara
|
asmara
|
cinta, kasih sayang
|
bhãgya
|
bahagia
|
keadaan senang, beruntung,
tenteram
|
vãyu
|
bayu
|
Angin
|
vinãça
|
binasa
|
hancur lebur,
musnah, rusak sama seklai
|
gopala
|
gembala
|
pemelihara binatang ternak
|
virama
|
irama
|
naik turunnya
lagu secara teratur; ritme
|
manusya
|
manusia
|
orang, insane
|
naraka
|
neraka
|
alam akhirat tempat manusia berdosa dihukum
|
niyata
|
nyata
|
jelas sekali, terang, terbukti
|
prastawa
|
peristiwa
|
kejadian, perkara, hal
|
viçastavan
|
wisatawan
|
orang yang bertamasya, turis
|
vavi
|
babi
|
binatang babi
|
Perubahan bentuk ortografis ini beragam. Ada yang berubah
dengan pola ç -
s, misalnya pada ãkãça - angkasa,
viçastavan -
wisatawan, dan vinãça - binasa. Pola
perubahan adaptatif v -
b ditunjukkan pada vãyu - bayu, vinãça
- binasa, dan vavi
- babi. Ada juga pola
y - i, misalnya manusya
- manusia, bhãgya
- bahagia. Pola lain
adalah a -
e pada kata-kata yang bersilabis tiga dan secara linear
berkonsruksi vokal a-a-a menjadi e-a-a; misalnya pada naraka
- neraka, juga pada karana
- karena, rancana - rencana, pataka - petaka,
panjara -
penjara, dll.
Keempat, kata-kata
serapan yang bentuk transkripsi ortografis sekaligus maknanya berubah. Perhatikan Tabel 4:
Tabel 4 Perubahan Transkripsi
Ortografis dan Makna Kata Serapan
Bahasa
Sanskerta
|
Bahasa
Indonesia
|
||
Kata
|
Makna
|
Kata
|
Makna
|
vacas
|
percakapan, suara, kata
|
baca
|
membaca, mengeja, melafalkan
tulisan
|
vaidŭrya
|
yang utama di antara sejenisnya
|
baiduri
|
permata berwarna dan beragam
|
churikã
|
pisau
|
curiga
|
prasangka, sangsi, syak
|
mantrin
|
penasihat raja
|
mantri
|
1 jabatan untuk keahlian khusus; 2
juru rawat kepala, pembantu dokter
|
maharddhika
|
1 berbudi bijaksana; 2 orang suci
|
merdeka
|
1 bebas; 2 lepas dari tuntutan; 3
tidak terikat
|
samgama
|
kebersamaan, pertemuan
|
sanggama
|
bersetubuh
|
sajjana
|
orang baik dan jujur
|
sarjana
|
1 gelar
lulusan S1; 2 ahli ilmu pengetahuan
|
çastra
|
1 pengetahuan; 2 buku teks
|
sastra
|
karya tulis imajinatif berbentuk
puisi, prosa liris, prosa, drama
|
tapas
|
panas
|
tapa
|
penyempurnaan jiwa untuk
memperoleh kesucian, kesaktian dengan jalan mengasingkan diri
|
vanita
|
yang dihasrati
|
wanita
|
perempuan dewasa
|
Setelah
masuk dalam kosakata bahasa Indonesia, perubahan makna yang terjadi berupa
penyempitan (specialisation of meaning), yakni proses pembatasan konteks
pemakaian unsur bahasa, sehingga maknanya menjadi lebih terbatas (Kridalaksana,
1993). Misalnya makna kata-kata vaidŭrya - baiduri,
samgama - sanggama,
sajjana - sarjana, çastra
- sastra, dan vanita - wanita. Dalam bahasa
Sanskerta kata samgama, misalnya, bermakna ‘kebersamaan’ atau
‘pertemuan’, lalu maknanya setelah masuk ke dalam kosakata bahasa Indonesia
disempitkan menjadi ‘bersetubuh’. (cf. Mcdonell, 1954).
Beberapa kata serapan lain dapat dicontohkan di sini: viçuddha
‘bersih, murni’ -
wisuda ‘pelantikan jabatan’ atau ‘peresmian pemberian gelar
kelulusan’; viças ‘memberi banyak arah’ - wisata ‘tamasya,
piknik’; vrtta ‘tingkah laku’ - warta ‘kabar
berita’; tyaga ‘meninggalkan’ - tega ‘sampai hati’.
Beberapa Masalah Kebahasaan yang
Timbul
Bukan
tanpa masalah perubahan bentuk transkripsi ortografis dan makna kata-kata
serapan bahasa Sanskerta dalam bahasa Indonesia ini. Tidak jarang terjadi
kesalahpahaman. Misalnya kata graha, wanita, pelbagai, dan pria.
Kata
graha misalnya, diberi makna ‘gedung perkantoran/lembaga’. Umumnya orang
bahkan yang menyedihkan para guru/dosen sekalipun tidak tahu bahwa dalam hal
ini bahasa Sanskerta memiliki kosakata yang hampir sama, yaitu graha dan
grha. Beberapa orang mengira “Ah, cuma salah tulis!”. Padahal, ini
memang merupakan dua kata yang berlainan; grha bermakna ‘gedung/bangunan
besar’, sedang graha ‘culas, korup, maling’. Ini jelas kesalahan fatal.
(cf. McDonell, 1954; Gonda, 1973; Hanafi, 1986).
Kata wanita disalahpahami yang disamakan begitu
saja dengan kata perempuan. Kata wanita menyimpan makna pasif
sebagai objek ‘yang diinginkan/dihasrati (oleh lelaki)’, sedang kata perempuan
mendukung makna aktif sebagai subjek ‘pemimpin, perintis, yang terhormat’. Selama puluhan
tahun kata wanita mengalami ameliorasi, sedang kata perempuan
menderita peyorasi. Lalu, sejak Orde Baru tumbang beralih ke Orde Reformasi
(1998) terjadi hal yang sebaliknya: wanita peyorasi, sedang perempuan
ameliorasi. Jadi, sejak itu arti wanita dalam bahasa Indonesia sama
dengan dalam bahasa Sanskerta.
Meskipun
demikian, masalah baru pun muncul dengan menggeneralisasi secara salah bahwa
setiap kata wanita disalahkan dan diusulkan diganti perempuan.
Tentu saja ini aneh dan salah. (Jupriono, 2002). Kata wanita pada frase wanita
pembantu rumah tangga atau wanita tuna susila, misalnya, tidak salah
dan tidak perlu di-perempuan-kan, sebab pada kedua frase ini wanita
benar-benar hanya sebagai objek, tidak bisa bertindak sebagai subjek. Akan
tetapi, kata wanita pada wanita pejuang, wanita pergerakan, wanita
aktivis, misalnya, seyogianya diganti perempuan sebab di sini cukup
dominan makna aktif sebagai subjek—bukan pasif sebagai objek (Sudarwati &
Jupriono, 1997; cf. Hanafi, 1986).
Kata pelbagai umumnya dianggap metatesis dari berbagai.
Kebetulan arti
kedua kata ini sama-sama ‘plural’. Akan tetapi, berbicara soal asal-usul kata,
soalnya menjadi lain. Kata pelbagai sama sekali tidak memiliki relasi
historis dengan kata berbagai. Pelbagai berasal dari bahasa
Sanskerta pāla-bhagai ‘bermacam ragam’, sedang berbagai asli
bahasa Melayu dari prefiks ber- dan bagai. (cf. Gonda, 1973; Hanafi, 1986).
Sesuatu yang paling aneh adalah kata pria. Dalam
bahasa Hindi terdapat kata pria ‘perempuan’ dan priaa ([priặ]
dilafalkan lebih panjang) ‘lelaki’. Kedua kata juga diserap dari bahasa
Sanskerta. Hal yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah kata pria yang a
pendek, tetapi dengan makna yang a panjang.
Pengaruh Bahasa
Sansekerta
Seperti
yang kita ketahui dari pelajaran sejarah, bahasa Sansekerta telah dipakai di
Nusantara sejak masa lampau. Bahasa Sansekerta tercatat paling awal masuk ke
Nusantara (Indonesia). Bahasa ini dipakai mula-mula di salah satu peradaban
tertua, peradaban Sungai Indus, dan menyebar ke hampir seluruh dunia besamaan
menyebarnya kepercayaan Hindu. Satu diantara tempat menyebarnya kepecayaan
Hindu adalah daerah Asia Tenggara. Kerajaan Sriwijaya, dari namanya pun sudah
memakai Bahasa Sansekerta. Sampai di masa kerajaan-kerajaan Islam, Bahasa
Sansekerta masih dipakai, contohnya adalah nama-nama raja di Jawa. Beberapa
kata serapan dari bahasa Sansekerta antara lain: bencana (vāñcana), anugerah
(anugraha), busana (bhūṣaṇa), payudara (payodhara), sahaja (sahaja), istana
(āsthāna), istri (strī), dsb.
DAFTAR PUSTAKA
Jupriono.
2012. Kata Serapan Bahasa Sanskerta,
Online, http: sastra-
bahasa.blogspot.com, diakses tanggal 9 September 2012 pukul
21.01 WIB.
Dwiajisapto.
2011. Pengaruh Bahasa Daerah dan Bahasa
Asing, Online, http:
dwiajisapto.blogspot.com diakses
tanggal 6 September 2012 pukul 18.05 WIB.
0 comments